Setiap kali memasuki bulan Juni, Jakarta sibuk merayakan ulang tahunnya. Puncaknya, pada Jumat, 22 Juni 2012 mendatang, ibu kota Republik Indonesia itu akan menginjak usia 485 tahun. Pernah bernama Batavia, Jakarta kini tumbuh dan berkembang dengan beragam etnis, khususnya suku Betawi dengan budayanya.
Memasuki usia 485 tahun, Jakarta mengambil tema "Jakarta Harapanku" untuk mewarnai segenap kegiatan menyambut kelahirannya. Banyak kegiatan, harapan, ungkapan untuk Jakarta yang semakin tua. Ada sekitar 55 kegiatan rutin Kota Jakarta untuk meramaikan ulang tahunnya. Kegiatan tersebut antara lain, Jakarta Great Sale, Jakarta Fair, dan pemilihan Abang None (Abnon) Jakarta.
Menengok Jakarta masa kini, tentu tak luput dari perjalanan panjang kota itu bertumbuh dengan segala dinamikanya. Nama Jakarta sendiri diapakai sejak zaman Jepang berkuasa tahun 1942. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang didirikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah, setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa, tanggal 22 Juni 1527. Nama tersebut biasanya diterjemahkan sebagai kota kejayaan atau kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha.
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu Pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.
Pada abad ke 12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti poorselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke 16, Surawisesa, Raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membumihanguskan kota pelabuhan dan membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk syahbandar pelabuhan.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, Walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti kota kemenangan. Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta pada puteranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi Sultan di Kesultanan Banten.
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar akhir abad ke 16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jakarta pada awal abad ke 17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimppin oleh Jan Pieterszoon Coen mendudukinya setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk Pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.
Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan dari suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Datangnya penjajah Jepang membuat nama Batavia berganti menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia ke II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Memasuki usia 485 tahun, Jakarta mengambil tema "Jakarta Harapanku" untuk mewarnai segenap kegiatan menyambut kelahirannya. Banyak kegiatan, harapan, ungkapan untuk Jakarta yang semakin tua. Ada sekitar 55 kegiatan rutin Kota Jakarta untuk meramaikan ulang tahunnya. Kegiatan tersebut antara lain, Jakarta Great Sale, Jakarta Fair, dan pemilihan Abang None (Abnon) Jakarta.
Menengok Jakarta masa kini, tentu tak luput dari perjalanan panjang kota itu bertumbuh dengan segala dinamikanya. Nama Jakarta sendiri diapakai sejak zaman Jepang berkuasa tahun 1942. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang didirikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah, setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa, tanggal 22 Juni 1527. Nama tersebut biasanya diterjemahkan sebagai kota kejayaan atau kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha.
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu Pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.
Pada abad ke 12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti poorselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke 16, Surawisesa, Raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membumihanguskan kota pelabuhan dan membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk syahbandar pelabuhan.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, Walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti kota kemenangan. Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta pada puteranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi Sultan di Kesultanan Banten.
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar akhir abad ke 16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jakarta pada awal abad ke 17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimppin oleh Jan Pieterszoon Coen mendudukinya setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk Pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.
Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan dari suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Datangnya penjajah Jepang membuat nama Batavia berganti menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia ke II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah Walikota ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I (Dati I) yang di pimpin oleh Gubernur. Yang menjadi Gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu kota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Soemarno Sosroatmodjo.
Sebagai kota yang kemudian berkembang menjadi besar, sejak zaman Belanda Jakarta banyak menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Kondisi ini membuat budaya Jakarta banyak dipengaruhi budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis. Suku-suku yang mendiami Jakarta pun beragam seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi.
Asal usul kaum Betawi sendiri hingga kini masih kerap diperdebatkan. Ridwan Saidi, ahli sejarah Betawi, mengatakan orang Betawi sudah aja sejak zaman Neolitikum. Sementara Lance Castle, sejarawan Belanda, mengatakan bahwa yang disebut kaum Betawi baru muncul pada tahun 1930, saat sensus penduduk dilakukan. Pada sensus penduduk sebelumnya, kaum Betawi tidak disebutkan. Ada pula pendapat, secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.
Kemunculan kaum Betawi secara nasional baru terdengar pada saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sebelumnya etnis Betawi hanya menyebut diri mereka berdasarkan lokalitas saja, seperti orang Depok, Orang Kemayoran, Orang Condet, Orang Rawa Belong dan sebagainya. Menariknya, ketika datang berbagai etnis di Jakarta ikut mempengaruhi setiap perayaan etnis Betawi.
Sebagai kota yang kemudian berkembang menjadi besar, sejak zaman Belanda Jakarta banyak menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Kondisi ini membuat budaya Jakarta banyak dipengaruhi budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis. Suku-suku yang mendiami Jakarta pun beragam seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi.
Asal usul kaum Betawi sendiri hingga kini masih kerap diperdebatkan. Ridwan Saidi, ahli sejarah Betawi, mengatakan orang Betawi sudah aja sejak zaman Neolitikum. Sementara Lance Castle, sejarawan Belanda, mengatakan bahwa yang disebut kaum Betawi baru muncul pada tahun 1930, saat sensus penduduk dilakukan. Pada sensus penduduk sebelumnya, kaum Betawi tidak disebutkan. Ada pula pendapat, secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.
Kemunculan kaum Betawi secara nasional baru terdengar pada saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sebelumnya etnis Betawi hanya menyebut diri mereka berdasarkan lokalitas saja, seperti orang Depok, Orang Kemayoran, Orang Condet, Orang Rawa Belong dan sebagainya. Menariknya, ketika datang berbagai etnis di Jakarta ikut mempengaruhi setiap perayaan etnis Betawi.
Seperti budaya penyalaan petasan, lenong, cokek, hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah, yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Etnis arab sangat mempengaruhi musik gambus dalam warna musik marawis dan tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Cina, Melayu dan Arab. Sementara di kampung Tugu terkenal dengan budaya keroncong yang berasal dari Portugis.
Budaya Betawi seperti lenong, topeng blantik, tari topeng, ondel-ondel, tari ronggeng topeng dan lain-lain hingga ini masih tetap eksis. Begitu pula seni suara dan musiknya seperti samrah, rebana, gambang kromong, tanjidor dan wayang kulit Betawi serta sejenisnya. Nah inilah sejarah singkat tentang kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Budaya Betawi seperti lenong, topeng blantik, tari topeng, ondel-ondel, tari ronggeng topeng dan lain-lain hingga ini masih tetap eksis. Begitu pula seni suara dan musiknya seperti samrah, rebana, gambang kromong, tanjidor dan wayang kulit Betawi serta sejenisnya. Nah inilah sejarah singkat tentang kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar